PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA
KORUPSI DENGAN RESTORATIVE JUSTICE
oleh:
Rudy Cahya Kurniawan
A. Latar Belakang.
Tindak perilaku
korupsi akhir-akhir ini makin marak dipublikasikan di media massa maupun maupun
media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi
negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan
kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat
memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat
yang terbukti melakukan tindak korupsi.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang paling dibenci dan
menjadi musuh bersama bagi bangsa Indonesia disamping kejahatan-kejahatan lain
seperti Narkotika, dan teroris. Upaya penanggulangan kejahatan-kejahatan
tersebut, sampai saat ini masih mengandalkan pada fungsionalisasi hukum pidana.
Padahal hukum pidana itu sendiri tidaklah dapat dihandalkan sebagai langkah
utama untuk pencegahan kejahatan termasuk Korupsi. Adagium bahwa
hukum pidana sebagai Ultimum Remedium,
sebagai bukti bahwa menjadikan hukum pidana sebagai prioritas dalam
penanggulanan kejahatan bukanlah cara yang tepat.
Lalu apakah yang dilakukan dalam
penanggulangan kejahatan tersebut? Mencari sebab adalah cara tepat, karena
dengan mengetahui causa dari suatu kejahatan, dan kemudian causa (penyebab)
kejahatan tersebut dieliminir maka dengan sendirinya kejahatan itu akan
berkurang.
Jadi penanggulangan kejahatan yang
dilakukan selama ini hanyalah penanggulangan
kejahatan secara symptomatic, yaitu hanya mengatasi gejalanya saja. Penangkapan
dan menghukum para pelaku tindak pidana korupsi sama dengan penanggulangan
sympotmatic tersebut. Menghilangkan gejalanya tanpa menghapus penyebabnya, maka
kejahatan itu tidak akan pernah berkurang. Berkurang itu hanya sesaat, tapi
setelah itu akan mencul lagi, bahkan
bisa jauh lebih parah.
Menurut Mochtar Lubis, korupsi adalah
kejahatan dengan banyak wajah, sehingga tidak dapat disimpulkan hanya melihat
pada satu aspek. Tidak bisa dikatakan lemahnya
penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi adalah faktor utama gagalnya pemberantasan korupsi. Padahal ada
faktor-faktor lain yang lebih dominan yang menyebabkan orang melakukan korupsi.
Itu yang harus diteliti dan dicari.
Tradisi korupsi dirasakan Mochtar terjadi
dinegara manapun. Indonesia adalah setitik saja ruang, dimana pengejawantahan
birokrasi patrimonial dan korupsinya telah dimapankan sebagai sesuatu yang
sifatnya terberi. Ia membudaya dalam masyarakat, bahwa karena masyarakat
memandang hal tersebut sebagai suatu yang wajar apa adanya.[1]
Kejaksaan sebagai salah satu institusi
penegak hukum juga diberi amanah untuk melakukan penanggulangan kejahatan
korupsi dalam bidang penegakan hukum. Kejaksaan disamping bertindak selaku
penyidik juga sekaligus penuntut Umum dengan segala kewenangannya. Disinilah
letak peran sentral kejaksaan dalam penanggulangan korupsi.
Belakangan ini mass
media ramai memberitakan tentang bocornya Surat Edaran Jaksa Agung
(SEJA) Nomor B-113/F/Fd.1/05/2010 mengenai petunjuk bagi para jaksa supaya
tidak membawa kasus korupsi dengan nilai kerugian negara di bawah Rp 10 juta
dalam proses peradilan akhirnya bocor ke masyarakat, beberapa hari lalu.
”Imbauan” itu sontak menuai banyak kecaman. Sejatinya, edaran itu bukan isu
baru mengingat diterbitkan sekitar 2 tahun lalu, tepatnya pada 18 Mei 2010.
Dalih penerbitan edaran itu adalah
demi efisiensi mengingat menurut Jaksa Agung penanganan sebuah kasus korupsi
membutuhkan biaya lebih dari Rp 10 juta, dari proses penyidikan hingga
pelaksanaan eksekusi. Konsekuensinya, andai nilai kerugian negara di bawah
angka itu, akan lebih efisien bila tersangka diminta mengembalikan jumlah uang
yang dikorupsi dan ia bisa terbebas dari jerat hukum.
Surat
Edaran Jaksa Agung (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) Nomor :
B-113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010,
salah satu poin dalam isinya adalah
menginstruksikan kepada
seluruh kejaksaan tinggi yang isinya imbauan agar dalam kasus dugaan tindak
pidana korupsi, masyarakat yang dengan kesadaran telah mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk
tidak ditindaklanjuti atas berlaku asas restorative
justice.
Selain surat edaran Jaksa Agung yang
memberikan perlakuan berbeda untuk nilai kerugian di bawah Rp 10 juta, RUU
tentang Tipikor juga mewacanakan bahwa korupsi dengan kerugian negara di
bawah Rp 25 juta, cukup mengembalikan sejumlah kerugiannya selesai perkara.[2]
Surat
Edaran ini bila dicerna secara bijaksana sebenarnya ingin melihat bahwa
penanggungalan korupsi yang terkait dengan kerugian negara, sepanjang
kerugiannya tidak terlalu besar dan pelaku dengan kesadaran sendiri telah
mengembalikan seluruh kerugian tersebut bisa diselesaikan diluar pengadilan
(prinsip asas restrorative justice).
Pertanyaan
yang perlu diajukan dalam surat edaran ini sesungguhnya tidak terletak
pada pantas atau tidak pantasnya pelaku
korupsi diberi keringan, melainkan
berapa sebenarnya nilai kerugian yang dapat dikwalifikasi kecil. Sebeb tanpa
ukuran yang jelas akan menjadi kabur dan melahirkan ambiugitas dalam
pemberantasan korupsi yang pada akhirnya kegagalan dalam memberantas korupsi.
Disamping
itu, apakah kebijakan (diskresi) yang dilahirkan dari surat edaran tersebut
dapat dibenarkan, baik dari aspek filosofis, juridis maupun sosiologis? Secara
filosofis, tujuan dari hukum itu sendiri bukanlah penghukuman. Misalnya Jeremy
Bentham dalam teori utilitasnya menyebutkan tujuan dari hukum adalah
semata-mata mewujudkan apa yang
berfaedah (berguna) bagi orang atau masyarakat.[3]
Berangkat
dari tujuan hukum tersebut, maka sebenarnya terjadinya pengembalian kerugian
negara oleh pelaku tindak pidana korupsi
adalah jauh lebih berfaedah daripada menghukum pelaku sementara kerugian
negara tidak bisa dikembalikan. Bagir Manan dalam suatu kesempatan dalam
menanggapi surat edaran Jaksa Agung tersebut berpendapat hal tersebut dapat
dibenarkan, karena menyangkut diskresi yang dilakukan oleh kejaksaan. Bahwa
dengan dipulihkannya keadaan, misalnya kerugian negara yang telah ditutupi,
maka selayaknya perkara tidak perlu lagi diajukan. Tujuan dari asas
restrorative justice sebenarnya adalah
memulihkan hubungan antara pelaku dengan korban. Korban dalam hal ini adalah
negara.
Secara
juridis, kejaksaan sebenarnya diberi kewenangan oleh undang-undang yang biasa
disebut dengan asas opurtinitas. Asas opurtinitas adalah kewenangan untuk mengenyampingkan
perkara demi kepentingan umum dengan cara
tidak melakukan penuntutan, KUHAP mengatur ini dalam Pasal 14. Jadi
pengenyampingan perkara yang dilakukan oleh Jaksa bukan alasan kepentingan hukum,
tapi kepentingan umum. Bahwa dikaitkan dengan surat edaran Jaksa Agung
tersebut, bisa saja apa yang dilakukan jaksa dengan tidak melakukan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi dengan kerugian negara yang kecil sebagai
langkah menerapkan asas opurtinitas tersebut.
Pertimbangan
jaksa menjalankan prinsip opurtinitas tidak semata-mata kepentingan umum, tapi
juga bisa karena alasan untung ruginya bila perkara tersebut diteruskan ke
pengadilan. Untung rugi ini bisa terkait dengan dana yang harus dikeluarkan
dibanding manfaat yang akan diperoleh. Kerugian negara yang kecil sementara
pengeluaran keuangan negara yang besar untuk melanjutkan perkara bisa dijadikan
pertimbangan.
Bahwa
pengertian asas opurtinitas tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukankan
oleh seorang ahli hukum Belanda bernama Dr. Bert Snel, yang mengatakan, “Apabila jaksa berpendapat bahwa suatu
penuntutan itu tidak ia kehendaki secara bersyarat ataupun tidak, maka ia akan
mengesampingkan perkara. Juga ia akan mengesampingkan suatu perkara apabila
ternyata terdapat kurang bukti, atau dalam hal ia berpendapat bahwa adalah
lebih tepat apabila perkara tersebut diselesaikan menurut hukum perdata. Sebagai dasar untuk melaksanakan asas
opurtinitas itu, undang-undang hanya mengatakan demi kepentingan umum. Dengan
panjang lebar memori penjelasan telah mengatakan, yang pada dasarnya ingin
mengatakan bahwa suatu penuntutaan dapat dikesampingkan, jika penuntutan itu
akan mendatangkan kerugian yang lebih besar daripada mendatangkan keuntungan,
baik bagi pribadi dari tersangka dan atau bagi masyarakat.” [4]
Persoalan tentang surat edaran jaksa agung
tersebut, sebenarnya tidak ada permasalahan dalam upaya penegakan hukum untuk
pemberantasan korupsi, karena isi dari surat edaran tersebut ternyata tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemberantasan korupsi yang terkait
dengan kerugian negara tidak semata-mata untuk menghukum pelaku, tapi lebih
dari itu adalah bagaimana kerugian keuangan negara dapat dikembalikan. Tujuan
Hukum tidak semata menghukum siapa yang bersalah, tapi yang paling krusial
bagaimana hubungan yang telah rusak dikarenakan adanya pelanggaran dapat
dipulihkan kembali. Pemulihan itu hanya dapat dimanifestasikan dengan adanya
pengembalian kerugian keuangan negara.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka permasalahan yang ada dirumuskan, sebagai berikut :
1. Bagaimana penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan
pendekatan restorative justice ?
2.
Apa penggunaan pendekatan
restorative justice dalam kasus korupsi dengan nilai kerugian
negara di bawah Rp 10 juta sudah memenuhi rasa keadilan dimasyarakat?
C. Kerangka Teori
1. Hukum Responsif
Pengembaraan mencari hukum
responsive
(sebagaimana dikeukakan oleh philip noneth dan sczelnik dalam bukunya hukum
responsif) telah menjadi
kegiatan teori hukum modern yang terus berkelanjutan.
Sebagaimana yang dikatakan Jeroem Frank, tujuan utama kaum realisme hokum
adalah untuk membuat hukum lebih
responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.[5]
Sifat responsif
dapat diartikan sebagai suatu sikap yang melayani kebutuhan dan kepentingan
sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat itu
sendiri. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam
perspektif konsumen”. Hukum responsive datat diartikan sebagai hukum yang
merupakan sarana merespon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta
menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Dengan kata lain,
hukum responsif ini merupakan tipe hukum yang menolak otonomi hukum yang
bersifat final dan tidak dapat digugat.
Hukum tidak
hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain.
Memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus
diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh
pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa,
hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang
kaku dan analitis.
Hukum responsif
ini adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan
bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Jadi, teori hukum ini berorientasi
pada hasil, berorientasi pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum dan
di dalam hukum responsive ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan
melalui subordinasi.
Demikian halnya
dalam pembuatan hukum, produk hukum yang berkarakter responsif proses
pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya
partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok
masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau
kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari
penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Nonet dan
Selznick menunjukan adanya sebuah dilema yang pelik antara integritas dan
keterbukaan di dalam institusi-institusi. Integritas disini berarti bahwa suatu
institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada
prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari
institusi-institusi lain. Sedangkan keterbukaan yang sempurna akan berarti
bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam
masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus,
dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan
kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan
satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Jadi, konsep hukum
responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk
mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Jawaban dari hukum responsif
adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru.
Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain dari pada kekuasaan
berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan
sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara
progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan
politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang
keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.
2. Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan
Dalam Hukum
Dalam menegakkan hukum ada
tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kepastian
hukum dan unsur kemanfaatan. Jika dalam menegakkan hukum hanya
diperhatikan kepastian hukumnya saja, maka unsur lain harus dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan
unsur keadilan maka unsur kepastian hukum dan kemanfaatan juga harus di
korbankan dan begitu selanjutnya. Itulah yang disebut antinomy yaitu
sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dalam
menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Meski dalam
prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara seimbang antara
ketiga unsur tersebut.[6]
Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan
yang paling utama dari pada kepastian hukum dan
kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan
kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain.
Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di
bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan
selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan
praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya
meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati
posisi diatas tujuan hukum yang lain.[7]
Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya sering
kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara
keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan
kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim
menginginkan keputusan yang adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh
hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa,
maka akibanya sering akan merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas.
Sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil bagi
orang tertentu terpaksa harus dikorbankan.
Hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa hukum
itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain
sistem hukum adalah suatu satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang
mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan
kesatuan tersebut.
3.Unsur Keadilan Dalam Hukum
Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan keputusan
yang mengandung kebenaran, tidak memihak, dapat dipertanggung jawabkan dan
memperlakukan setiap manusia pada kedudukan yang sama didepan hukum. Perwujudan
keadilan dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat, bernegara
dan kehidupan masyarakat internasional, ditunjukkan melalui sikap dan perbuatan
yang tidak berat sebelah dan memberikan sesuatu kepada orang lain yang menjadi
haknya. Keadilan dapat juga diartikan sebagai suatu tindakan yang
didasarkan pada norma-norma, baik norma agama maupun norma hukum.
Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois
Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam
mengutamakan “the search for justice”.[8] Pedoman-pedoman
yang obyektif berasal dari groundnorm (norma dasar). Groundnorm menyerupai sebuah
pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam
hal ini adalah Negara). Groundnorm merupakan syarat transendentals-logis
berlakunya seluruh tata hukum dan seluruh tata hukum positif harus berpedoman
secara hinarki pada groundnorm.[9]
Keadilan sosial ala John Rawl dalam bukunya a
theory of justice menjelaskan teori sosial sebagai the
difference principle dan the principle of fair equality of
opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa
perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial
ekonomi dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek
seseprang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.[10]
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian
rupa sehingga paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang lemah. Hal ini
akan terjadi apabila dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin
maximum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi
masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi
yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan
diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.Maksudnya supaya
kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan
pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan
perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
4.Unsur Kepastian Dalam Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa
dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif
adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem
norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum
menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen
yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya
subjektif.
Tentang kepastian hukum menurut Bismar Siregar didalam
KUHAP ternyata lebih menitikberatkan kepada kepastian hukum dan perlindungan
hak terdakwa dari penegak keadilan itu sendiri. Selanjutnya bahwa hakim harus
terjun ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim lebih peka
terhadap perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat.
Singkatnya bahwa hakim tidak boleh terasing dari masyarakat. Seandainya terjadi
dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh
masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian
hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan [11]
Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian
kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam
atau dari hukum. Hukum yang
berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang
berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu
keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam
hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang.
Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan
(undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang
dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan
dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat
ditafsirkan secara berlain-lainan.
Menurut Friedrich Julius Stahl, seorang pelopor hukum
Eropa Kontinental, ciri sebuah Negara hukum antara lain adalah adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan administrasi
dalam perselisihan.[12]
Konsep Negara hukum disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare
state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi
manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara
disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan
sosial maka Negara juga harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia yang saat ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945
dikenal dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai
ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di
masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan
kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian
hukum dan ketertiban.[13]
Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum
memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum
saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan
yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan
independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif,
yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral
teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya
demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan.[14]
Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of
behavior).
5.Kemanfaatan
Hukum (Zweckmaeszigkeit)
Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal
dari kata dasar "manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia,
berarti faedah atau guna.[15] Hukum
merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita
masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen hukum itu sendiri adalah
suatu sollenskategorie (kategori keharusan) bukannya seinkategorie (kategori
faktual). Yang maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu
keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk
rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah ‘bagaimana
hukum itu seharusnya’ (what the law ought to be) melainkan ‘apa hukumnya’ (what
is the law).[16]
Sebagian orang berpendapat bahwa kemanfaatan hukum
(zweckmasiggkeit) sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama sebagai
prevensi khusus agar terdakwa tidak mengulangi kembali melakukan perbuatan
melawan hukum, dan prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk tidak
melanggar hukum karena akan dikenakan sanksinya. Oleh karena itu putusan hakim
harus memberi manfaat bagi dunia peradilan, masyarakat umum dan perkembangan
ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia .
Jakarta : Balai
Pustaka.
Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2010
Hans Kelsen, 2006 Teori Hukum Murni, Konstitusi
Press, Jakarta .
Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi , Yayasan
Obor Indonesia , Jakarta .
Mochtar Kusumaatmadja, 2000,Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan
Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum.
Moh. Mahfud MD. 2003, Demokrasi dan Konstitusi Di
Indonesia : Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Yogyakarta . Rieneka Cipta.
Satjipto Rahardjo dengan judul: ‘Membedah Hukum
Progresif’, Harian Kompas, Media Oktober
2006.
Selznick, Philippe Nonet Philip, 2013, Hukum
Responsif, Bandung ,
Nusa Media.
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Penerbit:
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta .
Theo
Huijibers, Teori Keadilan Aristoteles :, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah,
cet VIII, Yogyakarta , kanisius, 1995
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah
Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang .
Website :
http://budisansblog.blogspot.com/2014/02/kabar-gembira-bagi-koruptor.html,
diakses pada tanggal 10 november 2014
http://hendriesipahutar.blogspot.com/2014_02_01_archive.html, diakses
pada tanggal 10 november 2014
Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan
Islam, diakses dari
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/TEORIKEADILAN%20PERSPEKTIF20FILSAFAT%20HUKUM%20ISLAM.pdf,
tanggal 10 November 2014
Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana
Buku A Theory of
Justice,http://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana
-buku-a-theory-of-juctice/, tanggal 10 november 2014
Bismar Siregar – Sang
“Pengadil” Yang Progresif, http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m=1,
diakses tanggal 10 November 2014
[1] Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi ,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta hal.195.
[2] http://budisansblog.blogspot.com/2014/02/kabar-gembira-bagi-koruptor.html, diakses pada tanggal 10 november
2014
[3] Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum
Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, hal. 25
[4] http://hendriesipahutar.blogspot.com/2014_02_01_archive.html, diakses pada tanggal 10 november
2014
[5] Selznick, Philippe Nonet Philip,
2013, Hukum Responsif, Bandung, Nusa Media. Hal.83
[6] Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal
Hukum, Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal 161
[7] Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan
dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, diakses dari
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/TEORIKEADILAN%20PERSPEKTIF20FILSAFAT%20HUKUM%20ISLAM.pdf,
tanggal 10 November 2014
[8] Teori
Keadilan Aristoteles : Theo Huijibers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah,
cet VIII, Yogyakarta, kanisius, 1995 hal 196
[9] Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum,
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya ,
2010 hal 127
[10] Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory of Justice,http://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana
-buku-a-theory-of-juctice/, tanggal 10 november 2014
[11] Bismar Siregar – Sang “Pengadil” Yang Progresif, http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m=1,
diakses tanggal 10 November 2014
[12] Moh. Mahfud MD. 2003, Demokrasi dan
Konstitusi Di Indonesia : Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan
Ketatanegaraan. Yogyakarta. Rieneka Cipta.hal.27
[13] Mochtar Kusumaatmadja, 2000,Pengantar
Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, hal. 3.
[14] Satjipto Rahardjo dengan judul: ‘Membedah Hukum Progresif’, Harian Kompas, Media Oktober 2006, hal 17
[15] Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai
Pustaka.hal.335
[16]Hans Kelsen, 2006 Teori Hukum Murni, Konstitusi
Press, Jakarta, hal 15.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus