Pages

Senin, 23 Mei 2016

RESTORATIF JUSTICE BY RUDY C K

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA  KORUPSI DENGAN RESTORATIVE JUSTICE
oleh: Rudy Cahya Kurniawan

A. Latar Belakang.
Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ini makin marak dipublikasikan di media massa maupun maupun media cetak. Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup rakyat yang dipimpin oleh para pejabat yang terbukti melakukan tindak korupsi.
Korupsi telah menjadi kejahatan yang paling dibenci dan menjadi musuh bersama bagi bangsa Indonesia disamping kejahatan-kejahatan lain seperti Narkotika, dan teroris. Upaya penanggulangan kejahatan-kejahatan tersebut, sampai saat ini masih mengandalkan pada fungsionalisasi hukum pidana. Padahal hukum pidana itu sendiri tidaklah dapat dihandalkan sebagai langkah utama untuk pencegahan kejahatan termasuk Korupsi.  Adagium bahwa  hukum pidana  sebagai Ultimum Remedium, sebagai bukti bahwa menjadikan hukum pidana sebagai prioritas dalam penanggulanan kejahatan bukanlah cara yang tepat.
Lalu apakah yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan tersebut? Mencari sebab adalah cara tepat, karena dengan mengetahui causa dari suatu kejahatan, dan kemudian causa (penyebab) kejahatan tersebut dieliminir maka dengan sendirinya kejahatan itu akan berkurang.
Jadi penanggulangan kejahatan yang dilakukan selama ini hanyalah penanggulangan kejahatan secara symptomatic, yaitu hanya mengatasi gejalanya saja. Penangkapan dan menghukum para pelaku tindak pidana korupsi sama dengan penanggulangan sympotmatic tersebut. Menghilangkan gejalanya tanpa menghapus penyebabnya, maka kejahatan itu tidak akan pernah berkurang. Berkurang itu hanya sesaat, tapi setelah itu  akan mencul lagi, bahkan bisa jauh lebih parah.
Menurut Mochtar Lubis, korupsi adalah kejahatan dengan banyak wajah, sehingga tidak dapat disimpulkan hanya melihat pada satu aspek. Tidak bisa dikatakan lemahnya  penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi adalah faktor utama gagalnya pemberantasan korupsi. Padahal ada faktor-faktor lain yang lebih dominan yang menyebabkan orang melakukan korupsi. Itu yang harus diteliti dan dicari.
Tradisi korupsi dirasakan Mochtar terjadi dinegara manapun. Indonesia adalah setitik saja ruang, dimana pengejawantahan birokrasi patrimonial dan korupsinya telah dimapankan sebagai sesuatu yang sifatnya terberi. Ia membudaya dalam masyarakat, bahwa karena masyarakat memandang hal tersebut sebagai suatu yang wajar apa adanya.[1]
Kejaksaan sebagai salah satu institusi penegak hukum juga diberi amanah untuk melakukan penanggulangan kejahatan korupsi dalam bidang penegakan hukum. Kejaksaan disamping bertindak selaku penyidik juga sekaligus penuntut Umum dengan segala kewenangannya. Disinilah letak peran sentral kejaksaan dalam penanggulangan korupsi.  
Belakangan ini mass media ramai memberitakan tentang bocornya Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor B-113/F/Fd.1/05/2010 mengenai petunjuk bagi para jaksa supaya tidak membawa kasus korupsi dengan nilai kerugian negara di bawah Rp 10 juta dalam proses peradilan akhirnya bocor ke masyarakat, beberapa hari lalu. ”Imbauan” itu sontak menuai banyak kecaman. Sejatinya, edaran itu bukan isu baru mengingat diterbitkan sekitar 2 tahun lalu, tepatnya pada 18 Mei 2010.
Dalih penerbitan edaran itu adalah demi efisiensi mengingat menurut Jaksa Agung penanganan sebuah kasus korupsi membutuhkan biaya lebih dari Rp 10 juta, dari proses penyidikan hingga pelaksanaan eksekusi. Konsekuensinya, andai nilai kerugian negara di bawah angka itu, akan lebih efisien bila tersangka diminta mengembalikan jumlah uang yang dikorupsi dan ia bisa terbebas dari jerat hukum.
Surat Edaran Jaksa Agung (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus) Nomor : B-113/F/Fd.1/05/2010 tanggal 18 Mei 2010,  salah satu poin dalam isinya adalah  menginstruksikan kepada seluruh kejaksaan tinggi yang isinya imbauan agar dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi, masyarakat yang dengan kesadaran telah mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atas berlaku asas restorative justice.  
Selain surat edaran Jaksa Agung yang memberikan perlakuan berbeda untuk nilai kerugian di bawah Rp 10 juta, RUU tentang Tipikor juga mewacanakan bahwa  korupsi dengan kerugian negara di bawah Rp 25 juta, cukup mengembalikan sejumlah kerugiannya selesai perkara.[2]
Surat Edaran ini bila dicerna secara bijaksana sebenarnya ingin melihat bahwa penanggungalan korupsi yang terkait dengan kerugian negara, sepanjang kerugiannya tidak terlalu besar dan pelaku dengan kesadaran sendiri telah mengembalikan seluruh kerugian tersebut bisa diselesaikan diluar pengadilan (prinsip asas restrorative justice).
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam surat edaran ini sesungguhnya tidak terletak pada   pantas atau tidak pantasnya pelaku korupsi diberi keringan,  melainkan berapa sebenarnya nilai kerugian yang dapat dikwalifikasi kecil. Sebeb tanpa ukuran yang jelas akan menjadi kabur dan melahirkan ambiugitas dalam pemberantasan korupsi yang pada akhirnya kegagalan dalam memberantas korupsi.
Disamping itu, apakah kebijakan (diskresi) yang dilahirkan dari surat edaran tersebut dapat dibenarkan, baik dari aspek filosofis, juridis maupun sosiologis? Secara filosofis, tujuan dari hukum itu sendiri bukanlah penghukuman. Misalnya Jeremy Bentham dalam teori utilitasnya menyebutkan tujuan dari hukum adalah semata-mata  mewujudkan apa yang berfaedah (berguna) bagi orang atau masyarakat.[3]
Berangkat dari tujuan hukum tersebut, maka sebenarnya terjadinya pengembalian kerugian negara oleh pelaku tindak pidana korupsi  adalah jauh lebih berfaedah daripada menghukum pelaku sementara kerugian negara tidak bisa dikembalikan. Bagir Manan dalam suatu kesempatan dalam menanggapi surat edaran Jaksa Agung tersebut berpendapat hal tersebut dapat dibenarkan, karena menyangkut diskresi yang dilakukan oleh kejaksaan. Bahwa dengan dipulihkannya keadaan, misalnya kerugian negara yang telah ditutupi, maka selayaknya perkara tidak perlu lagi diajukan. Tujuan dari asas restrorative justice  sebenarnya adalah memulihkan hubungan antara pelaku dengan korban. Korban dalam hal ini adalah negara.
Secara juridis, kejaksaan sebenarnya diberi kewenangan oleh undang-undang yang biasa disebut dengan asas opurtinitas. Asas opurtinitas  adalah kewenangan untuk mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum dengan cara  tidak melakukan penuntutan, KUHAP mengatur ini dalam Pasal 14. Jadi pengenyampingan perkara yang dilakukan oleh Jaksa bukan alasan kepentingan hukum, tapi kepentingan umum. Bahwa dikaitkan dengan surat edaran Jaksa Agung tersebut, bisa saja apa yang dilakukan jaksa dengan tidak melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dengan kerugian negara yang kecil sebagai langkah menerapkan asas opurtinitas tersebut.
Pertimbangan jaksa menjalankan prinsip opurtinitas tidak semata-mata kepentingan umum, tapi juga bisa karena alasan untung ruginya bila perkara tersebut diteruskan ke pengadilan. Untung rugi ini bisa terkait dengan dana yang harus dikeluarkan dibanding manfaat yang akan diperoleh. Kerugian negara yang kecil sementara pengeluaran keuangan negara yang besar untuk melanjutkan perkara bisa dijadikan pertimbangan.
Bahwa pengertian asas opurtinitas tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukankan oleh seorang ahli hukum Belanda bernama Dr. Bert Snel, yang mengatakan,  “Apabila jaksa berpendapat bahwa suatu penuntutan itu tidak ia kehendaki secara bersyarat ataupun tidak, maka ia akan mengesampingkan perkara. Juga ia akan mengesampingkan suatu perkara apabila ternyata terdapat kurang bukti, atau dalam hal ia berpendapat bahwa adalah lebih tepat apabila perkara tersebut diselesaikan menurut hukum perdata.  Sebagai dasar untuk melaksanakan asas opurtinitas itu, undang-undang hanya mengatakan demi kepentingan umum. Dengan panjang lebar memori penjelasan telah mengatakan, yang pada dasarnya ingin mengatakan bahwa suatu penuntutaan dapat dikesampingkan, jika penuntutan itu akan mendatangkan kerugian yang lebih besar daripada mendatangkan keuntungan, baik bagi pribadi dari tersangka dan atau bagi masyarakat.” [4]
 Persoalan tentang surat edaran jaksa agung tersebut, sebenarnya tidak ada permasalahan dalam upaya penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi, karena isi dari surat edaran tersebut ternyata tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemberantasan korupsi yang terkait dengan kerugian negara tidak semata-mata untuk menghukum pelaku, tapi lebih dari itu adalah bagaimana kerugian keuangan negara dapat dikembalikan. Tujuan Hukum tidak semata menghukum siapa yang bersalah, tapi yang paling krusial bagaimana hubungan yang telah rusak dikarenakan adanya pelanggaran dapat dipulihkan kembali. Pemulihan itu hanya dapat dimanifestasikan dengan adanya pengembalian kerugian keuangan negara.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang ada dirumuskan, sebagai berikut :
1.     Bagaimana penyelesaian perkara tindak pidana korupsi dengan pendekatan restorative justice ?
2.     Apa penggunaan pendekatan restorative justice dalam kasus korupsi dengan nilai kerugian negara di bawah Rp 10 juta sudah memenuhi rasa keadilan dimasyarakat?

C. Kerangka Teori

1. Hukum Responsif

            Pengembaraan mencari hukum responsive (sebagaimana dikeukakan oleh philip noneth dan sczelnik dalam bukunya hukum responsif) telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan Jeroem Frank, tujuan utama kaum realisme hokum adalah untuk membuat hukum  lebih responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.[5] 

Sifat responsif dapat diartikan sebagai suatu sikap yang melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat itu sendiri. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”. Hukum responsive datat diartikan sebagai hukum yang merupakan sarana merespon atas kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Dengan kata lain, hukum responsif ini merupakan tipe hukum yang menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat.

Hukum tidak hanya rules (logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.

Hukum responsif ini adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Jadi, teori hukum ini berorientasi pada hasil, berorientasi pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum dan di dalam hukum responsive ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi.

Demikian halnya dalam pembuatan hukum, produk hukum yang berkarakter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinnya produk hukum tersebut bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.

Nonet dan Selznick menunjukan adanya sebuah dilema yang pelik antara integritas dan keterbukaan di dalam institusi-institusi. Integritas disini berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Sedangkan keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Jadi, konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain dari pada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif.

2. Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Dalam Hukum

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu unsur keadilan, unsur kepastian hukum dan unsur kemanfaatan. Jika dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukumnya saja, maka unsur lain harus dikorbankan. Demikian pula kalau yang diperhatikan unsur keadilan maka unsur kepastian hukum dan kemanfaatan juga harus di korbankan dan begitu selanjutnya.  Itulah yang disebut antinomy yaitu sesuatu yang bertentangan namun tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Meski dalam prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara seimbang antara ketiga unsur tersebut.[6]
Menurut Gustav Radbruch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain.[7]
Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusan yang adil (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibanya sering akan merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan adil bagi orang tertentu terpaksa harus dikorbankan. 
Hukum merupakan suatu sistem, yang berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu satu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.  
3.Unsur Keadilan Dalam Hukum 
Keadilan merupakan suatu hasil pengambilan keputusan yang mengandung kebenaran, tidak memihak, dapat dipertanggung jawabkan dan memperlakukan setiap manusia pada kedudukan yang sama didepan hukum. Perwujudan keadilan dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat, bernegara dan kehidupan masyarakat internasional, ditunjukkan melalui sikap dan perbuatan yang tidak berat sebelah dan memberikan sesuatu kepada orang lain yang menjadi haknya. Keadilan dapat juga diartikan sebagai suatu tindakan yang didasarkan pada norma-norma, baik norma agama maupun norma hukum. 
Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.[8] Pedoman-pedoman yang obyektif berasal dari groundnorm (norma dasar). Groundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini adalah Negara). Groundnorm merupakan syarat transendentals-logis berlakunya seluruh tata hukum dan seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hinarki pada groundnorm.[9]
Keadilan sosial ala John Rawl dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosial ekonomi dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seseprang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan dan otoritas.[10] Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan bagi golongan masyarakat yang lemah. Hal ini akan terjadi apabila dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang.Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
4.Unsur Kepastian Dalam Hukum
Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Tentang kepastian hukum menurut Bismar Siregar didalam KUHAP ternyata lebih menitikberatkan kepada kepastian hukum dan perlindungan hak terdakwa dari penegak keadilan itu sendiri. Selanjutnya bahwa hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim lebih peka terhadap perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat. Singkatnya bahwa hakim tidak boleh terasing dari masyarakat. Seandainya terjadi dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan [11]
Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
Menurut Friedrich Julius Stahl, seorang pelopor hukum Eropa Kontinental, ciri sebuah Negara hukum antara lain adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan.[12] Konsep Negara hukum disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial maka Negara juga harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.[13]
Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan.[14] Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).


5.Kemanfaatan Hukum (Zweckmaeszigkeit)
Secara etimologi, kata "kemanfaatan" berasal dari kata dasar "manfaat", yang menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti faedah atau guna.[15] Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Hans Kelsen hukum itu sendiri adalah suatu sollenskategorie (kategori keharusan) bukannya seinkategorie (kategori faktual). Yang maksudnya adalah hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah ‘bagaimana hukum itu seharusnya’ (what the law ought to be) melainkan ‘apa hukumnya’ (what is the law).[16]
Sebagian orang berpendapat bahwa kemanfaatan hukum (zweckmasiggkeit) sangat berkorelasi dengan tujuan pemidanaan terutama sebagai prevensi khusus agar terdakwa tidak mengulangi kembali melakukan perbuatan melawan hukum, dan prevensi umum setiap orang berhati-hati untuk tidak melanggar hukum karena akan dikenakan sanksinya. Oleh karena itu putusan hakim harus memberi manfaat bagi dunia peradilan, masyarakat umum dan perkembangan ilmu pengetahuan.




DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2010

Hans Kelsen, 2006 Teori Hukum Murni, Konstitusi Press, Jakarta.

Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Mochtar Kusumaatmadja,  2000,Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum.

Moh. Mahfud MD. 2003, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia : Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Yogyakarta. Rieneka Cipta.

Satjipto Rahardjo dengan judul: ‘Membedah Hukum Progresif’,  Harian Kompas, Media Oktober 2006.

Selznick, Philippe Nonet Philip, 2013, Hukum Responsif, Bandung, Nusa Media.

Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

 Theo Huijibers, Teori Keadilan Aristoteles :, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta, kanisius, 1995

Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang.

Website :
  http://budisansblog.blogspot.com/2014/02/kabar-gembira-bagi-koruptor.html, diakses pada tanggal 10 november 2014
  http://hendriesipahutar.blogspot.com/2014_02_01_archive.html, diakses pada tanggal 10 november 2014
  Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, diakses  dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/TEORIKEADILAN%20PERSPEKTIF20FILSAFAT%20HUKUM%20ISLAM.pdf, tanggal 10 November 2014
  Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory of  Justice,http://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana -buku-a-theory-of-juctice/, tanggal 10 november 2014
  Bismar Siregar – Sang “Pengadil” Yang Progresif, http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m=1, diakses tanggal 10 November 2014












[1] Mansyur Semma, 2008, Negara dan Korupsi , Yayasan Obor Indonesia, Jakarta hal.195.
[3] Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, hal. 25

[5] Selznick, Philippe Nonet Philip, 2013, Hukum Responsif, Bandung, Nusa Media. Hal.83
[6] Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Penerbit: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hal 161
[7] Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, diakses  dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/TEORIKEADILAN%20PERSPEKTIF20FILSAFAT%20HUKUM%20ISLAM.pdf, tanggal 10 November 2014
[8] Teori Keadilan Aristoteles : Theo Huijibers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta, kanisius, 1995 hal 196

[9] Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2010 hal 127
[10] Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory of  Justice,http://ilhamendra.wordpress.com/2010/10/19/teori-keadilan-john-rawls-pemahaman-sederhana -buku-a-theory-of-juctice/, tanggal 10 november 2014
[11] Bismar Siregar – Sang “Pengadil” Yang Progresif, http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m=1, diakses tanggal 10 November 2014
[12] Moh. Mahfud MD. 2003, Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia : Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Yogyakarta. Rieneka Cipta.hal.27
[13] Mochtar Kusumaatmadja,  2000,Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,  hal. 3.
[14] Satjipto Rahardjo dengan judul: ‘Membedah Hukum Progresif’,  Harian Kompas, Media Oktober 2006, hal 17
[15] Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.hal.335
[16]Hans Kelsen, 2006 Teori Hukum Murni, Konstitusi Press, Jakarta, hal 15.

1 komentar :