Rekonstruksi Kewenangan Polri Dalam Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi
1. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia adalah
negara hukum artinya setiap sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara serta
tingkah laku setiap warga negara indonesia diatur dan diawasi oleh hukum. Hal
ini dipertegas dengan ditunjuknya pancasila dan undang-undang dasar 1945
sebagai dasar negara indonesia.
Hukum yang mempunyai posisi yang sangat
dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara indonesia, mempunyai dua sifat:
1. Bersifat imperative, secara a’priori
wajib ditaati, kaidah ini tidak dapat dikesampingkan oleh suatu keadaan atau
sitruasi tertentu hanya karena suatu perjanjian.
2. Bersifat fakultatif, yaitu tidak secara a’priori, tidak wajib ditaati atau tidak mengikat atau dapat
dikesampingkan oleh suatu perjanjian.
Menurut Achmad Ali, hukum yang berbeda
ditengah masyarakat, mempunyai tujuan yang dapat dikaji melalui tiga sudut
pandang, yaitu :[1]
a. Dari sudut pandang ilmu positif–normatif atau yuridis dogmatis,
bahwa tujuan hukum dititik beratkan pada kepastian hukumnya.
b. Dari sudut pandang filsafat hukum, dimana tujuan hukum dititik
beratkan pada pengadilan.
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, dimana tujuan hukum dititik
beratkan pada kemanfaatannya.
Seiring dengan berjalannya
waktu, sampai saat ini masalah kejahatan masih menjadi ”isu penting” di dalam
dunia internasional. Karena seiring dengan perkembangan masyarakat, ilmu,
teknologi maupun perekonomian, jenis kejahatan sekarang tidak hanya bersifat
konvensional saja melainkan juga bersifat non konvensional seperti kejahatan
korupsi, atau juga kejahatan dengan sarana ”hi tech”.
Globalisasi yang kini telah
melanda dunia, termasuk di Indonesia, tentunya akan berpengaruh pula pada
bentuk-bentuk kejahatan dan usaha-usaha penanggulangan di masyarakat.
Seruan-seruan Organisasi Dunia yang dituangkan dalam instrumen-instrumen
Internasional sudah barang tentu sangat diperhatikan dalam kerangka pemahaman
terhadap gejala kejahatan dan penanggulangannya.[2]
Secara Gramatikal arti kalimat berdasarkan
hukum acara yang berlaku tentunya merujuk kepada Undang-undang No. 8 tahun 1981
tentang KUHAP, karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang
berlaku di Indonesia. Hal tersebut juga berarti bahwa terhadap tindak pidana
korupsi, harus dilakukan penyidikan berdasarkan Pasal 106 s.d. 136 KUHAP oleh
penyidik menurut Pasal 1 angka 1 s.d. 5, yaitu Polri. Sedangkan penuntutan
tindak pidana dilakukan menurut Pasal 137 s.d. 144 KUHAP oleh penuntut umum
(Pasal 1 angka 6 dan 7 KUHAP), yaitu Jaksa.
Ketentuan Pasal 26 Undang-Undang No. 31 tahun
1999 yang sangat baik dan benar, justru dikaburkan kembali oleh Pasal 27
Undang-undang No. 31 tahun 1999, di mana untuk tindak pidana yang sulit
pembuktian, akan dibentuk tim gabungan di bawah kordinasi Jaksa Agung.
Dalam proses peradilan
Tindak Pidana Korupsi yang penting atau perlu mendapat perhatian lebih adalah
proses penyidikan, karena pelaksanaan penyidikan sangat rentan terhadap
berbagai permasalahan baik yang berkenaan dengan terjadinya pelanggaran hak-hak
tersangka maupun kemungkinan terjadinya konflik kewenangan antara para penegak
hukum yakni antara lembaga yang satu dan lembaga lainnya dalam hal pelaksanaan
tugas dan kewenangan yang dimiliki.
Jika dikaitkan dengan Tindak
Pidana Korupsi yang mana terdapat beberapa lembaga yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan mempunyai tugas dan wewenang dalam penyidikan yakni Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI) berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Kejaksaan berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasn Korupsi.
POLRI sebelum terbentuknya
KPK diberikan kewenangan oleh pembuat undang-undang untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, baik Tindak Pidana
Umum maupun Tindak Pidana Korupsi.
Pembentukan KPK yang khusus
untuk memberantas korupsi mengingat lembaga pemerintahan yang menangani perkara
Tindak Pidana Korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien, dalam
melakukan pemberantasan terhadap Tindak pidana Korupsi justru sering
menimbulkan permasalahan dalam penanganan kasus korupsi, salah satu contoh
adalah pada kasus Korupsi Pengadaan Simulator Surat Izim Mengemudi (SIM) pada
Korlantas Mabes POLRI yang melibatkan POLRI dan KPK dimana keduanya mengklaim
memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan.
Di Indonesia, masalah
kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum
pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan
penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan lain di luar KUHAP.
Kewenangan institusi
Penyidik, selain penyidik POLRI, didasarkan pada ketentuan yang diatur dalam
Pasal 284 ayat 2 UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang menegaskan bahwa:
”Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, maka
terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan Undang-Undang ini dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada Undang-Undang tertentu sampai ada perubahan dan atau dinyatakan
tidak berlaku lagi”
Pengecualian terhadap
ketentuan khusus acara pidana yang dimaksud dalam pasal tersebut lebih lanjut
dijabarkan dalam pasal 17 PP No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP, yang
dirumuskan bahwa ”Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur
secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa dan
pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.”
”Bagi penyidik dalam
perairan Indonesia, Landasan Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
penyidikan dilakukan oleh perwira TNI-AL dan pejabat penyidik lainnya yang
ditentukan oleh UU yang mengaturnya.”
Beberapa pejabat penyidik
yang ditetapkan baik di dalam KUHAP maupun Peraturan Perundang-undangan yang
lain di luar KUHAP yaitu :
1. Penyidik Kepolisian
Republik Indonesia (pejabat POLRI) pasal 6(a) KUHAP yang juga berwenang
melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 14 g UU No. 2 tahun 2002
tentang POLRI)
2. Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS)
Selain diatur juga dalam pasal 6(b) KUHAP juga diatur di dalam
Undang-Undang khusus yaitu dalam UU Pasar Modal, UU Kepabeanan, UU Cukai, UU
Pengelolaan Lingkungan hidup, UU Kehutanan.
3. Jaksa (Pasal 30 d UU No.
16 tahun 2004 tentang Kejaksaan) yang berwenang menyidik kasus dan pemeriksaan
tambahan pelanggaran HAM berat (Pasal 12 Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.
1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) dan kasus tindak pidana
korupsi (UU No. 31 tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 Jo UU No. 30 tahun 2002
tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi)
4.
Penyidik TNI AL (Pasal 14 UU No 5 Tahun 1983 Tentang ZEE)
5.
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
(Pasal 6 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Berdasarkan
uraian diatas, dapat ditarik penjelasan bahwa subsistem kekuasaan penyidikan
ini merupakan tahapan yang sangat menentukan atau dapat dikatakan sebagai
”pintu gerbang” dalam proses peradilan pidana, sehingga diperlukan suatu
kebijakan perundang- undangan yang benar-benar dapat menunjang dan
mengefektifkan bekerjanya subsistem kekuasaan penyidikan sesuai dengan konsepsi
sistem peradilan pidana terpadu yang dianut oleh Indonesia sebagai konsekuensi
adanya diferensiasi fungsional dan instansional dalam penyelenggaraan peradilan
pidana di Indonesia berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Nomor 8 Tahun 1981 yang merupakan dasar hukum dari pelaksanaan sistem peradilan
pidana di Indonesia.
Dengan
adanya dualisme sebagaimana tampak dari ketentuan peraturan perundang-undangan
di atas, maka dualisme system penyidikan di satu sisi bisa menimbulkan
kompetisi yang positif untuk mencapai hasil yang maksimal dalam kerangka
penanggulangan tindak pidana korupsi, namun disisi lain dapat pula menimbulkan
rasa ketidakpercaaan diri lembaga tersebut apabila hasil kinerja mereka tidak
sesuai dengan harapan.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dalam penulisan ini, dengan judul “Rekonstruksi Kewenangan Polri Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”.
2. Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas
maka permasalahan yang dapat di rumuskan ialah:
1) Apa
saja wewenang yang dimiliki POLRI dalam praktek penyidikan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia ?
2) Bagaimanakah
kerangka penanggulangan Tindak Pidana
Korupsi menuju pembaharuan hukum dalam konsep penyidikan Tindak Pidana Korupsi
terhadap wewenang yang dimiliki POLRI KPK ?
3. Kerangka Teori
Penelitian ini menggunakan
teori Negara hukum sebagai grand theory,
maka teori Negara hukum mendasari teori-teori lain yang dipergunakan dalam
pembahasan permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
Secara konvensional, konsep
negara hukum selalu dikaitkan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang harus di
dasarkan atas hukum dan konstitusi, adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan
negara ke dalam fungsi yang berbeda-beda. Mengenai makna dari negara hukum Mochtar
Kusumaatmadja, mengemukakan bahwa makna terdalam dari negara atas hukum adalah
kekuasaan yang tunduk pada aturan hukum dan semua orang sama kedudukannya di
dalam hukum.[3]Di samping teori negara hukum juga adanya
teori keadilan, sebagaimana teori hukum yang berkeadilan dan bermartabat tidak
terlepas dari lingkungan dan latar belakang permasalahan hukum atau menggugat
suatu pikiran hukum yang dominan pada saat itu.[4]
Menurut Jhon Rawls dalam bukunya A Theory
of Justice yang berpendapat bahwa ”keadilan adalah kebajikan utama dalam
institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran, dan sebagai
kebajikan utama umat manusia, kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu
gugat”. Lebih lanjut Jhon Rawls mengatakan bahwa perlu adanya keseimbangan,
kesebandingan, dan keselarasan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
masyarakat termasuk di dalam Negara. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat
ditawar-tawar karena hanya dengan keadilan saja ada jaminan kestabilan dan
ketentraman dalam hidup manusia.
Berkaitan
dengan teori penegakan hukum dalam middle
atau range theory, yang dikenal dengan sebutan teori antara. Secara
teoritik, hukum tidak hanya dipahami dari bentuknya yang formal dan sebagai
sistem konseptual yang berisi konsep-konsep yang abstrak. Hukum juga tidak
hanya dipahami sebagai kaitan-kaitan logis yang tersusun atas
proposisi-proposisi yang membentuk kalimat-kalimat yuridik. Akan tetapi
pemahaman terhadap hukum harus dilihat secara sistematik, yang meliputi sub-sub
sistem yang membentuk norma-norma atau pedoman tingkah laku masyarakat.
Mengenai
sistem norma, hukum memiliki lembaga pembentuk, proses pembentuk dan bentuk
hukum, juga hukum memiliki dimensi pemberlakuan yang dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti sosial, ekonomi, politik, budaya dan faktor kepentingan asing,
moral maupun etika.
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya.
Faktor-faktor ini mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, di
antaranya faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor fasilitas maupun sarana
yang menunjang dan mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, dan faktor
kebudayaan.
Teori
tentang sistem hukum dikemukakan pertama kali oleh Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum menjadi tiga unsur
yakni struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum (kultur hukum). Tiga
unsur dari sistem hukum ini diteorikan Lawrence M. Friedman sebagai Three Elements of Legal System[5] (tiga elemen
dari sistem hukum). Menurut Lawrence M. Friedman dalam Achmad
Ali yang dimaksud dengan unsur-unsur sistem hukum tersebut,[6] adalah:
1)
Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada
beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para Polrinya, kejaksaan dengan
jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan lain-lain.
2)
Substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum
dan asas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan.
3)
Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan
(keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak,
baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan
berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.
Cara
lain dalam menggambarkan 3 (tiga) unsur hukum itu oleh Friedman, adalah
struktur hukum diibaratkan seperti mesin, subtansi hukum diibaratkan sebagai
apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin tersebut, sedangkan kultur
atau budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaiaman mesin tersebut
digunakan.[7]
1) Profesionalisme, yang merupakan
unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum.
2) Kepemimpinan, juga merupakan
unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum
utamanya kalangan petinggi hukum.
Untuk
menganalisis mengenai penegakan hukum terhadap kewenangan Polri dalam
penyidikan tindak pidana korupsi dalam harmonisasi hukum maka digunakan teori penegakan hukum. Secara konsepsional, inti dari penegakan
hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantahkan serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.[9]
Penegakan
hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan namun juga
sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Terdapat ada 5 faktor yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu[10]:
1)
Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam
tulisan ini akan dibatasi pada Undang-Undang saja.
2)
Faktor penegak hukum, yakni
pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3)
Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum.
4)
Faktor masyarakat, yakni lingkungan di
mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5)
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil
karya, cipta, dan rasa yang di dasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup.
Kelima
faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum,
juga merupakan tolok ukur daripada
efektivitas penegakan hukum.
1)
Pengetahuan tentang substansi (isi)
perundang-undangan,
2)
Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan
tersebut.
3)
Institusi yang terkait dengan ruang
lingkup perundangundangan di dalam masyarakatnya.
4)
Bagaimana proses lahirnya suatu
perundang-undangan, yang tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk
kepentingan instan (sesaat), yang di istilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai sweep legislation (undang-undang sapu),
yang memiliki kualitas buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.
Gangguan
terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada
ketidak serasian antara “tritunggal” nilai, kaidah
dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidak serasian
antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang
bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian
pergaulan.
Appilied teori yang digunakan dalam
penulisan ini sebagaimana teori hukum progresif yang dikemukakan oleh Alm.
Satjipto Rahardjo, dasar filosofi
dari Hukum Progressif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan
manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia,
kelahiran hukum bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk sesuatu yang lebih
luas yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan
manusia, oleh karena itu hukum bukanlah tujuan manusia melainkan hukum hanyalah
alat, sehingga keadilan substantif yang harus didahulukan ketimbang keadilan
prosedural, hal ini semata-mata agar dapat menampilkan hukum menjadi solusi
bagi problem-problem kemanusiaan.[12]
Lebih lanjut, Satjipto
Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak
serta merta dan terjadi begitu saja, karena hukum bukanlah merupakan hasil
karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat bekerja, melainkan memerlukan
beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan (hukum) tersebut dijalankan atau
bekerja:[13] Sekurang-kurangnya ada 4 (empat) langkah yang harus dipenuhi
untuk mengupayakan hukum atau aturan atau ketentuan dapat bekerja dan berfungsi
(secara efektif),[14] yaitu:
· Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagai mana ditentukan dalam
peraturan/ hukum tersebut.
· Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum,
baik yang mematuhi atau melanggar hukum.
·
Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan.
·
Orang-orang tersebut sebagai subyek maupun obyek hukum bersedia untuk
berbuat sesuai hukum.
Hukum
dan penegakan hukum di Indonesia adalah sama dengan mempertaruhkan ke dua sisi
normatif dan sisi empirik yang merupakan pasangan replektif (membias) mulai
dari proses pembuatan hukum, perwujudan serta pelaksanaan fungsi hukum
(penegakan hukum dan keadilan), dalam rangka merespon kebutuhan masyarakat yang
sedang membangun di segala bidang, dalam mencapai tujuan hukum yakni mewujudkan
keadilan, menciptakan kepastian hukum dan memberikan kegunaan (kemanfaatan)
bagi masyarakat.
Proses
pembuatan hukum baru hanya menyelesaikan satu tahap saja dari suatu perjalanan
panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap tersebut masih harus disusul oleh pelaksanaannya secara konkrit
dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan Penegakan Hukum.
Tinjauan
Pustaka
1. Penyelidikan dan
Penyidikan
Istilah penyelidikan dan penyidikan dipisahkan artinya oleh KUHAP,
walaupun menurut bahasa Indonesia kedua kata itu berasal dari kata dasar sidik,
yang artinya memeriksa, meneliti. Demikianlah sehingga di Malaysia istilah
menyelidik dipakai sebagai padanan istilah Inggris reserch yang di Indonesia dipakai istilah meneliti (penelitian).
Kata sidik diberi sisipan el menjadi
selidik yang artinya banyak menyidik. Jadi, menyelidik dan menyidik sebenarnya
sama artinya . sisipan el hanya
memperkeras (banyak)menyidik.
a.
Penyelidikan
KUHAP memberi defenisi penyelidikan sebagai “Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyalidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur menurut undang-undang ini”. Apakah
maksudnya ini sama dengan reserse ? Didalam organisasi kepolisian justru
istilah reserse ini dipakai. Tugasnya terutama tentang penerimaan laporan dan
pengaturan serta penyatop orang dicurigai untuk diperiksa. Jadi, berarti
penyelidikan ini tindakan untuk mendahului penyidikan, jika dihubungkan dengan
teori hukum acara pidana seperti dikemukakan oleh van Bemmelen dimuka (Bab1),
maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum
acara pidana, yang berati mencari kebenaran.
b. Penyidikan
penyidikan
suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation
(Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHAP memberi
defenisi penyidikan sebagai berikut.
“Serangkaian
tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta untuk mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna untuk menemukan
tersangkanya”.
Dalam
bahasa Belanda ini sama dengan opsporing
menurut Depinto, penyidik (opsporing) berarti “Pemeriksaan permulaan oleh
pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah
mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan , bahwa ada
terjadi suatu pelanggaran hukum”.
Pengetahuan dan pengertian penyidikan perlu
dinyatakan dengan pasti dan jelas, serta karena hal itu langsung menyinggung
dan membatasi hak-hak asasi manusia. Bagian-bagian hukum acara pidana yang
menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik;
2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik ;
3. Pemeriksaan ditempat kejadian;
4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa;
5. Penahana sementara;
6. Penggeledahan;
7. Pemeriksaan atau interogasi.;
8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan
ditempat);
9. Penyitaan;
10. Penyampungan perkara;
11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengambilannya kepada
penyidik untuk disempurnakan.
2. Pengertian Penyidik
Penyidik menurut Pasal 1
butir ke-1 KUHAP adalah pejabat Polri Negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan. KUHAP lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik
dalam pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik dalam proses pidana.
Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik
POLRI dan Pejabat penyidik negeri sipil.[16]
Disamping yang diatur dalam
Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang
mengatur tentang adanya penyidik pembantu disamping penyidik.[17]
Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai penyidik
ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam pasal 6 KUHAP.
Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat
penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan pasal 6 KUHAP yang dimaksud, yang
berhak diangkat sebagai pejabat penyidik antara lain adalah:
a.
Pejabat Penyidik Polri
Agar seorang pejabat kepolisian
dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka harus memenuhi syarat kepangkatan
sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Menurut penjelasan
Pasal 6 ayat 2, kedudukan dan kepangkatan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan
penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang mengatur
masalah kepangkatan penyidik adalah berupa PP Nomor 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat
penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat Polri yang dapat
diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus memenuhi syarat-syarat
kepangkatan dan pengangkatan,yaitu:
a.
Sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polri;
b.
Atau yang
berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian
tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat Pembantu Letnan Dua;
c.
Ditunjuk dan
diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia
2.
Penyidik Pembantu
Pasal 10 KUHAP menentukan
bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat Kepolisan Negara Republik Indonesia yang
diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur
denganperaturan pemerintah.[18]
Pejabat Polri yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur didalam
Pasal 3 PP Nomor 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk
dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu:[19]
a.
Sekurang-kurangnya
berpangkat Sersan Dua Polri;
b.
Atau
pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat
sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a);
c.
Diangkat
oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan
kesatuan masing-masing.
b.
Penyidik Pegawai Negeri
Sipil
Penyidik Pegawai Negeri
Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil
yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya, wewenang
yang mereka miliki bersumber pada undang-undang pidana khusus, yang telah
menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.[20]
Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya
terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam
undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang
disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Penyidik pegawai negeri
sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai
dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”
2. Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR)
a.
Tindak Pidana
Tindak
Pidana (delik) dalam hukum pidana yang merupakan salah satu terjemahan dari
istilah “straafbaar feit” (Belanda).
Istilah straafbaar feit diterjemahkan secara berbeda-beda oleh sarjana hukum
pidana antara lain delik, tindak pidana, perbuatan pidana atau pengabaian
melawan hukum serta beberapa istilah lain.
Untuk
memberi gambaran secara jelas tentang pengertian delik atau tindak pidana,
berikut penulis kemukakan beberapa pandangan beberapa ahli hukum, antara lain:
Satochid
kartanegara (tanpa tahun : 74) yang cenderung untuk ,menggunakan istilah delik,
dengan memberikan pengertian bahwa straafbar
feit adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam oleh hukuman.
Simons (Rusli Effendy, 190 : 30)
mengatakan :
“straaf
baar feith adalah kelakuan (heandeling)
yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan
kesalahan dan dilakukan dengan orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.
Jadi,
apabila dilihat rumusan delik yang dikemukakan oleh simons tersebut diatas,
maka didalamnya terkandung unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Suatu perbuatan manusia ;
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang;
3. Perbuatan itu harus bertentengan dengan hukum;dan
4. Perbuatan itu harus dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan,
artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.
Van Hattum (Rusli Effendi, 1980 : 36) berpendapat pengertian
straaf baar feith itu adalah pengertian yang eliptis, yaitu sebagian kalimat
pada istilah itu dihilangkan. Lengkapnya adalah “feith terzake van hetwekean
person straafbaar is”.
Menurut E. Utrecht menerjemahkan straafbaarfeith dengan istilah
peristiwa pidanan yang juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu
perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif,
maupun akibatanya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan
itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu
peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.
Tindakan semua unsur yang
disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang mutlak dari
peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia
yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum), oleh sebab itu dapat
dijatuhi sebuah hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata
bertanggungjawab.
Dan menurut Pompe perkataan straafbaar feith secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai suatu: ”Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib
hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dikaukan oleh seorang
pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum”.
Sangatlah berbahaya untuk mencari suatu penjelasan mengenai hukum positif, yakni semata-mata dengan menggunakan pendapat
secara teoritis. Perbedaan antara hukum positif dengan dengan teori adalah
semu. Oleh karena itu, yang terpenting dari teori itu adalah tidak seorangpun
dapat dihukum kecuali tindakannya benar-benar
melanggar hukum yang telah dilakukan dalam bentuk schuld, yakni dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Adapun
hakim kita juga mengenal adanya schuld
tanpa adanya suatu wederrechtelijkheid.
Dipidananya orang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi,
meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik (an objektive of penol provision), namun hal tersebut belum memenuhi
syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat,
bahwa orang yang nelakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektif built). Disini berlaku “Tiada
pidana tanpa kesalahan” (keine strafe
ohne schuld atau geen straf zonder
schuld atau nulla poena sine culpa).
Culpa disini dalam arti luas,
meliputi juga kesengajaan.
Sedangkan menurut Moeljatno “Perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum yang diancam pidana asal
saja dalam hal itu diingat larangan ditujukan pada perbuatan yaitu kejadian
atau keadaan yang timbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya
ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.
Untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : (1)
Perbuatan (menusia), (2) Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil),
(3) Bersifat melawan hukum (syarat materil). Syarat formil harus ada, karena
asas legalitas dalm Pasal 1 ayat (1) KUHP.
3. Kepolisian (POLRI)
Menurut Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian RI Kepolisian
adalah segala hal ih-wal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polri sesuai
denagn peraturan perundang-undangan.
Kepolisian
Negara Republik Indinesia merupakan alat Negara dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri.
Perkembangan
kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena
supermasi hukum, hak asasi manusia,
globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan
akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan,
tugas, fungsi, wewenang dan tanggungjawab Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan
masyarakat terhadap pelaksanaan tugas kepolisian Negara Republik Indonesia yang
makin meningkat dan lebih beriorentasi kepada masyarakat yang dilayaninya. Meskipun demikian, didalam
penerapannya akan ditentukan oleh komitmen para pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia tarhadap pelaksanaan tugasnya dan juga komitmen masyarakat
untuk secara aktif berpartisipasi dalam mewujudkan Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang mandiri, professional, dan memenuhi harapan masyarakat.
4. Metode Penelitian
Penulisan hokum ini, agar
mempunyai nilai ilmiah, maka perlu diperhatikan syarat-syarat metode ilmiah. Secara
epistimologis, ilmiah adalah dipengaruhi oleh pemilihan dan penggunaaan metode
penulisan, bahan atau data kajian serta metode penelitian.
Metode, adalah proses
prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian
adalah pemeriksanaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala
untuk menambah pengetahuan manusia, maka metode penelitian dapat diartikan
sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang
dihadapi dalam melakukan penelitian.[21]Selanjutnya
penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten.
Melalui proses penelitian
tersebut perlu diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah
dikumpulkan dan diolah.[22] Di
dalam penelitian untuk memperoleh jawaban tentang kebenaran dari suatu
permasalahan diperlukan suatu kegiatan penelitian dalam rangka mencari data
ilmiah sebagai bukti guna mencari kebenaran ilmiah.
Dalam penulisan digunakan
metodelogi penulisan sebagai berikut :
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normative dan yuridis
sosiologis atau socio-legal research.[23]Metode
pendekatan yuridis sosiologis dikarenakan permasalahan yang diteliti menyangkut
hubungan antara faktor yuridis dan faktor sosiologis. Yuridis artinya
penelitian yang didasarkan pada teori-teori hukum, khususnya yang berkaitan
dengan kewenangan polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Dasar-dasar
yang terdapat dalam perundang-undangan tersebut yang digunakan untuk
menganalisis masalah. Sosiologis artinya penelitian yang berhubungan langsung
dengan masyarakat, dapat dilakukan melalui pengamatan (observasi), wawancara
ataupun penyebaran angket. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan secara
yuridis sosiologis adalah pendekatan penelitian hukum yang didasarkan pada
aturan-aturan hukum yang berlaku dan dilakukan dengan pengamatan (observasi),
wawancara ataupun penyebaran angket.Dalam penelitian ini, objeknya adalah
tinjauan yuridis sosiologis tentang Rekontruksi kewenangan polri dalam
penyidikan tindak pidana korupsi.
Penelitian hukum sosiologis
disebut juga penelitian hukum lapangan. Disebut demikian karena penelitian ini
dilakukan dengan pengamatan (observasi), wawancara ataupun penyebaran angket. Sebagai
penelitian lapangan disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap
data yang bersifat primer.
Adapun Metode penelitian
hukum normatif, yaitu metode yang khusus mencerminkan identitas disiplin hukum
sebagai ilmu. Dalam hal ini, penelitian kepustakaan akan lebih diutamakan.
Metode penelitian normatif digunakan dalam penelitian ini karena peneliti akan
melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang tertulis yang
mengatur tentang kewenangan polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
b. Spesifikasi Penelitian
Penelitian hukum merupakan
suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum
tertentu, dengan jalan menganalisanya.[24] Untuk
tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan metode yang dipergunakan
dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah yang dibahas.
Ditinjau dari segi sifatnya,
penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu analisis data yang
dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau
konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat
data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan
seperangkat data yang lain.[25]Oleh
karena itu dalam spesifikasi penelitian dalam penulisan hokum ini berupa
penelitian deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti bahwa dalam
penelitian ini penulis bermaksud untuk menggambarkan dan menyampaikan secara
rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kewenangan
polri dalam penyidikan tindak pidana korupsi, sedangkan analitis berarti mengelompokkan, menghubungkan dan memberi tanda
pada penyidikan oleh polri terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi.
c.
Sumber Data
Untuk memperoleh data dalam penyusunan tesis ini menggunakan sumber data sekunder. Data ini didapat dengan melakukan
penelitian bahan kepustakaan, dan didukung atau dilengkapi dengan data-data
yang diperoleh melalui wawancara. Studi
kepustakaan dilakukan melalui tahap-tahap identifikasi pustaka sumber data,
identifikasi bahan hukum yang diperlukan dan inventarisasi bahan hukum (data)
yang diperlukan tersebut.
Data yang sudah terkumpul
kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan (editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing), sistematisasi
berdasarkan pokok bahasan dan subpokok bahasan yang diidentifikasi dari rumusan
masalah (systematizing), dalam rangka
untuk mendapatkan peraturan hukum, bahan-bahan hukum yang menunjang atau
penjelasan lebih lanjut dari peraturan hukum di atas, yang terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer,
berupa Undang-undang, meliputi :
a) Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b) Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (KUHP).
c) Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
d) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
e) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
2) Bahan Hukum Sekunder.
Bahan Hukum Sekunder, yaitu
bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil
penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian, antara
lain berupa buku-buku atau literatur yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti.
3) Bahan Hukum Tersier yaitu kamus hukum, dan
kamus Bahasa Indonesia.
Sumber
data lain, selain data sekunder, penulis juga menggunakan data primer, yaitu
wawancara.
d.
Metode Pengumpulan Data
Suatu
penelitian pasti akan membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini dimaksudkan
agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas dan reabilitas
yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal paling sedikit tiga
jenis tekhnik pengumpulan data yaitu : studi dokumen atau bahan pustaka,
pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview[26]
Dalam
penulisan hukum ini. Penulisan mengunakan teknik pengumpulan data yaitu Studi
Kepustakaan yaitu pengumpulan data sekunder. Studi pustaka adalah pengkajian
informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber dan
dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum normatif.[27] Di samping studi kepustakaan, penulis juga
melakukan wawancara.
e. Metode
Penyajian Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang telah terkumpul
disajikan secara kualitatif yang berupa uraian-uraian deskriptif dan disusun
dalam bentuk laporan penelitian yang berupa karya ilmiah.
f.
Metode Analisa Data
Analisa
data dilakukan secara kualitatif yang disajikan secara deskriptif analitis.
Sifat deskriptif dari data penelitian ini karena ingin menggambarkan keadaan
hukum ataupun fenomena hukum dari bahan penelitian yang menyangkut bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, berkaitan dengan
pelaksanaan di dalam prakteknya.
Analisa
kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang
teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih dan selektif, sehingga memudahkan
interpretasi data dan pemahaman hasil analisis. Komprehensif artinya analisis
data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian.
Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam
analisis. Analisis data dan interpretasi seperti ini akan menghasilkan produk
penelitian hukum normatif yang bermutu dan sempurna[28].
Hasil
analisis mampu mengemukakan dan menemukan kategori-kategori yang berkaitan
dengan suatu disiplin, tetapi juga dikembangkan dari suatu kategori yang
dikemukakan dan hubungan-hubunganya dengan data yang didapat. Hasil analisis
data tersebut dapat diperlakukan kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu cara
berpikir dari hal sifatnya umum di dasrkan atas fakta-fakta dan gejala kepada
sifat yang khusus.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad. Hukum dan
Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum
Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta: PT. Gunung Agung Tbk, 2002.
Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi,
Bayumedia Publishing, Malang, 2006
Bambang Sunggono, Metodologi
Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1997
Hasbi Hasan, Makalah Teori Hukum, Program Notariat
Universitas Jayabaya, Jakarta, 2012.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kedua tahun 1989 hal 715 disusun
oleh Pusat Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa
M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, cet VII (Jakarta:
Sinar Grafika)
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep
Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002
Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya;
Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan .
(Yogyakarta: Liberty)
Ronny Hannitijo Soemitro,
Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990)
Soerjono Soekanto dan Sri
Mamuji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ( Rajawali Press,
Jakarta, 1985)
Soerjono Soekanto, 1979,
“Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum”, Naskah Lengkap pada paper pada seminar
Hukum Nasional ke IV, Jakarta. .
Soerjono Soekanto, 2004,
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, UI Press,Jakarta, 1986
Soerjono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1996..
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang
Berkeadilan dan Bermartabat, Raja Grafindo Persada, 2012
Undang-Undang Nomor Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.,
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1981., Pasal 6 Ayat 1
[1] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta : PT. Gunung Agung
Tbk, 2002., hlm 72
[2] Arief Amrullah,
Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang , 2006, hal. 4.
[3] Mochtar
Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam
Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 12.
[4] Teguh Prasetyo
dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat,
Teori dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan
Bermartabat, Raja Grafindo Persada, 2012, hlm. 138.
[5] Lawrence M.
Friedman, op. ci;, hlm. 16. Lihat
juga Ari Juliano Gema, 2009, “Menerobos Kebuntuan Reformasi Hukum Nasional:
Solusi untuk Mengawal Dinamika Masyarakat di Era Globalisasi dan
Demokratisasi”, Serial Online (Cited on 2009 Nov. 30), available from: URL:
http://arijuliano.blogspot.com/2006/08/meneroboskebuntuan-reformasi-hukum_22.ht.hlm.22.
[6] Achmad Ali,
Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence)
Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 2009, hlm. 204.
[7] Ari Juliano Gema, loc.cit.
[8] Achmad Ali, loc.cit.
[9] Soerjono Soekanto, 1979, “Penegakan Hukum dan Kesadaran Hukum”, Naskah Lengkap pada paper
pada seminar Hukum Nasional ke IV, Jakarta. hlm. 24.
[10] Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 7-9.
[11] Achmad Ali I, op.cit.,
hlm.. 378-379.
[12] Hasbi
Hasan, Makalah Teori Hukum, Program Notariat Universitas Jayabaya,
Jakarta, 2012.
[13] Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar,
Rajawali Press, 1996. hlm, 57.
[14] Ibid.
[15] Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kedua tahun 1989 hal 715 disusun oleh Pusat
Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa
[16] Undang-Undang
Nomor Tentang Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981., Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1981.,
Pasal 6 Ayat 1
[17] M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, cet VII (Jakarta: Sinar Grafika), hal 110.
[18] Nico Ngani,
I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum
Dan Penyidikan . (Yogyakarta: Liberty) hal 19
[19]
M.Yahya Harahap,. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, cet VII (Jakarta: Sinar Grafika),. , hal. 111-112
[21] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,Jakarta, 1986, hlm. 6.
[22] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, ( Rajawali Press, Jakarta, 1985), hlm. 1.
[23] Ronny Hannitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum
dan Jurumetri, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 14.
[24] Soerjono Soekanto, op. cit;, hlm. 43.
[25] Bambang Sunggono, Metodologi
Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1997, hlm. 38.
[27] Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm
81
[28] Ibid, hlm 127
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus